Jumat, 27 Desember 2019

Bahasa Sampit dan Kaum Milenial (dalam buku Kata Milenial tentang Bahasa Sampit)


Menjadi salah satu anak muda yang lahir dengan menyandang predikat generasi milenial, memang sangat beruntung. Kemampuan multitasking yang melekat pada generasi ini membuatnya mudah untuk mempelajari apapun. Namun, ada satu hal yang belakangan baru disadari bahwa mempelajari hal-hal baru yang modern tak cukup untuk dibanggakan, pun yang juga penting adalah melestarikan budaya lokal sendiri, seperti bahasa misalnya.

Kalimantan Tengah merupakan Provinsi dengan penduduk aslinya yaitu Suku Dayak dan bahasa daerahnya adalah bahasa Dayak. Bahasa Dayak tersebut kemudian melahirkan Sub bahasa Dayak yang berbeda di setiap daerah. Sama seperti yang lain, Sampit, ibukota kabupaten Kotawaringin Timur juga memiliki bahasa daerah lokal yaitu Bahasa Dayak Sampit.

Sampit, kota yang selalu melekat di biodata kita, kaum milenial, sepertinya hanya menjadi kota kelahiran. Kurangnya minat untuk mempelajari bahasa Dayak Sampit boleh jadi karena beberapa hal. Salah satunya yaitu minimnya penggunaan bahasa daerah dalam keluarga. Bahasa orang tua sangat mempengaruhi kemampuan berbahasa anak. ketika orang tua berkomunikasi dengan anak tetapi tidak menggunakan bahasa Dayak Sampit maka ketertarikannya terhadap bahasa tersebut akan rendah, ditambah lagi bahasa lingkungan yang juga bukan Bahasa Dayak Sampit.

Kota kecil yang kental dengan kebegaraman, Sampit, menjadi salah satu kota dengan penampung transmigran yang cukup tinggi, karena wilayahnya yang terbuka. Kota Sampit dapat dengan mudah diakses baik melalui jalur darat, air, maupun udara. Sejak dulu, orang-orang dari suku dan wilayah manapun bisa tinggal dan menetap di Sampit. Pada akhirnya penduduk setempat dan penutur Bahasa Dayak Sampit berasimilasi dan menyesuaikan diri untuk menggunakan bahasa nasional yang dimengerti oleh lingkungan yang telah terlanjur plural.

Ada fenomena aneh yang terjadi di Sampit, sepengamatan penulis, bahwa ternyata Bahasa Banjar jauh lebih populer digunakan masyarakat Sampit daripada Bahasa Dayak Sampit itu sendiri. Entah apa penyebabnya, penulis menyadari kurang melakukan kajian literatur terhadap rentetan sejarah penyebaran bahasa di Sampit. Namun bisa dipastikan, dari namanya, harusnya Bahasa Dayak Sampit bisa menjadi tuan bahasa di daerah sendiri dan semestinya bisa lebih populer.

Bahasa Dayak Sampit bukan hanya penting bagi pelestarian budaya bahasa lokal, tetapi juga dapat memberikan sumbangsih untuk memperkaya kosa kata bahasa nasional, Bahasa Indonesia. Meski pada level urban keberadaan bahasa Dayak Sampit minim diminati, tetapi pada level daerah pedalaman masih bisa ditemui penutur-penutur Bahasa Dayak Sampit, bahkan sebagian besar masyarakat menuturkan Bahasa Dayak Sampit sebagai bahasa komunikasi sehari-sehari. Beberapa contohnya adalah Daerah Kecamatan Baamang, seperti Kelurahan Baamang Hulu, Tanah Mas, Desa Tinduk, dan Kecamatan Seranau seperti Desa Terantang, dan sebagainya.

Terpeliharanya Bahasa Dayak Sampit pada beberapa daerah pedalaman, dapat menjadi museum pembelajaran dan pengembangan kemampuan bertutur Bahasa Dayak Sampit bagi kaum milenial yang tinggal di daerah urban. Westernisasi seketika mengubah pola pikir kaum milenial bahwa komunikasi dengan menyelipkan bahasa asing dalam percakapan mereka jauh lebih keren dibandingkan dengan menuturkan bahasa daerah.

Pada zaman sekarang menggunakan Bahasa Dayak Sampit bagi kebanyakan anak muda dianggap kampungan, tidak keren dan tidak modern, bahkan dianggap "orang ulu" (istilah yang digunakan untuk orang pedalaman, tidak tren), disamping itu memang banyak anak muda yang tidak mengenal Bahasa Dayak Sampit, padahal menetap di Sampit sejak lahir. Kondisi ini tentu saja memberi sinyal buruk bagi keberlangsungan Bahasa Dayak Sampit.

Dipenghujung tahun 2017, Badan Bahasa menyebutkan 11 bahasa daerah di Bagian Timur Indonesia telah punah, tentunya kita tidak ingin Bahasa Dayak Sampit bernasib sama.

Pada Sebuah gerakan masif anak muda yang beberapa tahun ini mendapat banyak perhatian masyarakat Sampit. Gerakan konservasi Bahasa Dayak Sampit yang diinisiasi oleh mahasiswa STKIP Muhammadiyah Sampit melalui program kreativitas mahasiswa, ternyata mampu menarik perhatian kaum muda, untuk kembali pada budaya bahasa lokal. Penulis merupakan salah orang yang merasakan manfaat dari gerakan ini. Sampit sebagai kota kelahiran dan keluarga yang merupakan asli penduduk setempat, tapi tidak fasih bertutur Bahasa Dayak Sampit, seperti mendapat tamparan besar.

Anak muda memang perlu pemantik. Sebagai kaum milenial yang dikenal dapat diandalkan dalam teknologi dan punya jiwa besar untuk menerima masukan dan saran dari manapun. Hal ini merupakan satu kelebihan dan peluang untuk menumbuhkan nilai-nilai kebudayaan lokal bagi kaum muda. Kelestarian Bahasa Dayak Sampit merupakan satu keniscayaan sebagai aset budaya Sampit.

Teknologi digital akan sangat menguntungkan untuk membumikan kembali Bahasa Dayak Sampit, banyak hal yang bisa  dilakukan kaum milenial untuk memperkenalkan dan mengampanyekan penggunaan bahasa Dayak Sampit. Memaksimalkan pemanfaatan media sosial sebagai sosialisasi, membuat video pembelajaran, membuat lagu ringan berbahasa Sampit, mendirikan komunitas milenial pecinta Bahasa Dayak Sampit, dan yang paling penting belajar untuk bertutur Bahasa Dayak Sampit dalam kehidupan sehari-hari serta mengubah pola pikir bahwa mencintai dan menggunakan Bahasa Daerah sendiri itu keren.

Utamakan Bahasa Indonesia
Lestarikan Bahasa Daerah
Kuasai bahasa asing
Salam Literasi

Oleh : Ayu Oktarizza

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Bahasa Sampit dan Kaum Milenial (dalam buku Kata Milenial tentang Bahasa Sampit)

Menjadi salah satu anak muda yang lahir dengan menyandang predikat generasi milenial, memang sangat beruntung. Kemampuan multitasking yan...