Sebuah
isu hangat yang menarik perhatian seluruh rakyat Indonesia, pasalnya menurut
berita yang beredar, pada awal September akan diberlakukan harga rokok dua kali
lipat lebih mahal dari harga sekarang. Terlepas dari benar ataukah salah isu
ini, sebagai kaum intelektual kita wajib mengkaji dampak positif dan negatif
dari kebijakan ini. Sebagian besar masyarakat Indonesia merupakan perokok, dan
industri rokok di Indonesia merupakan salah satu penyumbang pendapatan negara
yang cukup besar (melalui cukai).
Yukk..
kita telusuri pro-kontra kenaikan harga rokok..
TELAAH PRO
OPINI #1
Harga rokok yang murah dinilai menjadi penyebab
tingginya jumlah perokok di Indonesia. Dengan harga rokok di bawah 20.000
rupiah maka orang yang kurang mampu dan anak-anak usia sekolah tidak keberatan
mengeluarkan uang untuk membeli rokok.
Dengan menaikkan
harga rokok diharapkan dapat menurunkan prevalensi perokok, terutama pada
masyarakat yang tidak mampu. Berdasarkan hasil studi yang dilakukan Hasbullah
dan rekannya, sejumlah perokok pun akan berhenti merokok jika harganya
dinaikkan dua kali lipat. Survei tersebut dilakukan terhadap 1.000 orang
melalui telepon dalam kurun waktu Desember 2015 sampai Januari 2016. Sebanyak
72 persen mengatakan akan berhenti merokok kalau harga rokok di atas 50.000
rupiah.
Strategi menaikkan harga dan
cukai rokok pun sudah terbukti efektif menurunkan jumlah perokok di beberapa
negara. Pasalnya, harga rokok di Indonesia memang paling murah dibanding negara
lain. Di Singapura, harga sebungkus rokok bisa mencapai 120.000 rupiah. Namun,
di Indonesia, hanya 12.000 rupiah sudah bisa mendapat satu bungkus rokok.
OPINI #2 –PRO-
Ade
Komarudin, Ketua DPR RI sekaligus politisi Partai Golkar menyetujui adanya
kenaikan harga rokok hingga menembus Rp 50.000 per bungkus. Dalihnya, naiknya harga
rokok bakal mengurangi kebiasaan masyarakat merokok dan rokok merupakan musuh
bangsa. Persetujuan Ade perihal naiknya harga rokok hingga menembus 400- 500
persen tersebut , ia ungkapkan Jumat (19/8) siang di Kompleks Parlemen,
Senayan, Jakarta. Sebagaimana dilansir kompas.com, dengan naiknya harga rokok,
pendapatan Negara juga otomatis akan bertambah karena APBN bakal terbantu.
Ucapan Ade ini dilontarkan saat menanggapi hasil penelitian Pusat Kajian
Ekonomi dan Kebijakan Kesehatan Fakultas Kesehatan Manusia Universitas
Indonesia (PKEKKFKM UI) menyebutkan 46 persen pecandu rokok akan berhenti bila
harga rokok menembus angka di atas Rp 50 ribu perbungkus.
Survey
yang dilakukan terhadap 1.000 responden pada bulan Desember 2015 lalu,
didapatkan hasil bahwa 41,3 persen responden menikmati rokok 1 – 2 bungkus per
hari.Artinya, bila ditotal dalam satu bulan, seorang perokok aktif akan
mengeluarkan biaya berkisar Rp 450.000- Rp 600.000 per bulan. Terkait hal itu,
sebanyak 80,3 persen responden menyetujui kenaikan harga rokok untuk membiayai
Jaminan Kesehatan Nasional (JKN). Ada yang menarik atas munculnya penelitian
yang bisa berimplikasi atas naiknya harga rokok hingga kemungkinan akan mampu
menekan jumlah perokok aktif turun sampai 50 persen.
TELAAH KONTRA
OPINI #1
Ketua Umum Gabungan Produsen Rokok
Putih Indonesia (Gaprindo) Muhaimin Moefti, mengatakan bahwa kenaikan harga
rokok tersebut sangat mengkhawatirkan dan bisa mengancam bangkrutnya industri
rokok, padahal industri rokok itu sendiri penyumbang pajak negara yang besar.
industri rokok akan menurunkan
jumlah produksinya, sehingga otomatis karyawannya juga ada yang di PHK
(Pemutusan Hubungan Kerja). Maka dari itu yang paling mengkhawatirkan dari
adanya peristiwa ini yaitu pengangguran makin banyak di indonesia ini.
OPINI #2 –KONTRA-
Hal paling dominan, naiknya harga rokok
bakal menggerogoti APBN. Sebab, selama ini cukai rokok berhasil menyumbang
sedikitnya Rp 162,2 triliun serta berimbas pada membengkaknya angka
pengangguran setelah pabrik rokok mengalami gulung tikar karena turunnya omzet
penjualan secara drastis.
Mata rantai produksi rokok
nasional, sebenarnya tidak sesederhana yang ada dalam pikiran kita. Pasalnya,
untuk menjadi barang dagangan berupa rokok, baik yang murahan mau pun mahal,
prosesnya dimulai dari penanaman tembakau yang melibatkan jutaan petani. Begitu
pun dengan racikan pendukung berupa cengkeh serta saos, diduga ada ratusan ribu
tenaga kerja yang terlibat. Setelah tembakau berikut bahan lainnya masuk pabrik
rokok, maka terdapat jutaan tenaga kerja yang terlibat di dalamnya. Mulai
tukang linting, angkutan, distribusi hingga pemasaran.
Dari sini terlihat, bila harga rokok
menembus angka Rp 50.000 per bungkus, otomatis omzet produksi akan mengalami
penurunan tajam. Implikasinya, para buruh akan dirumahkan. Demikian pula jutaan
petani tembakau, jelas bakal kehilangan mata pencahariannya.
Pertanyaannya, apakah
populasi perokok akan menurun tajam ? Tidak. Pasalnya, perokok
akan mencari alternatif lain berupa melinting sendiri. Jutaan perokok aktif tak
gampang melepaskan zat nikotin yang terlanjur mengeram di tubuhnya masing-
masing selama puluhan tahun. Karena harga rokok tidak terbeli, mereka
dipastikan berinovasi sendiri agar kepulan asap tetap mampu dinikmati.
Sebaliknya, beralihnya perokok aktif ke
lintingan akan mengakibatkan omzet perusahaan rokok dalam negeri terjun bebas
hingga berdampak pada merosotnya pendapatan negara dari sektor cukai. Di sisi
lain, para produsen rokok abal- abal alias tanpa cukai,
nantinya bakal menikmati masa panen. Sebab, pasar merespon positif
banjirnya rokok illegal.
Selengkapnya : http://www.kompasiana.com/bamset2014/harga-rokok-naik-menjadi-rp-50-ribu-per-bungkus_57b6c84636937355115d3c10
Selengkapnya : http://www.kompasiana.com/bamset2014/harga-rokok-naik-menjadi-rp-50-ribu-per-bungkus_57b6c84636937355115d3c10