Prolog
Segala puji
bagi Allah yang menga-nugerahkan kita potensi akal, potensi hati, dan potensi
nafsu, maka sebaik-baiknya ma- nusia adalah yang dapat mengendalikan dan
memanfaatkan potensi tersebut. Sebuah tuli- san yang mungkin terlihat masih
canggung akan anda baca sesaat lagi. Tulisan ini terun- tuk kader IMM
Kotawaringin Timur, selepas hajatan besar dua komasariat (read: DAD) beberapa hari lalu, maka saya mendedika- sikan tulisan ini
sebagai titik balik semangat awal bagi seluruh kader.
Bukan
seorang penyair, bukan penulis yang handal, bahkan ini merupakan coretan
pertama yang dengan susah payah diimple-mentasikan dalam sebuah tulisan. Pelajaran
ini didapat dari DAD, waktu itu ayahanda PD Muhammadiyah Majelis Perkaderan
Kotawa-ringin Timur mengatakan mulailah menulis, tulislah apa yang kamu
pikirkan, jangan hentikan pikiranmu, tulislah!. Sesaat lagi metode ini
akan saya implementasikan, silah- kan disimak semoga bermanfaat.
Teruntuk
Kader Ikatan, Melati Kuncup
Kini kita
memulai babak baru, dinamika perkuliahan, gejolak jiwa menuju peralihan
putih-abu-abu menuju merah maron. Ini bukan sekedar perbincangan warna. Memilih
IMM bukan sekedar memilih untuk organisasi atau berkegiatan, tapi lebih dari
itu. Memilih IMM berarti berani berprinsip sesuai dengan nilai dasar ikatan. Saya
sering mengatakan IMM itu hanyalah sebuah nama, tidak terlihat dan tidak
berbentuk. Analoginya, jika kursi, rumah, pohon dan benda lainnya itu bisa dilihat
dan jelas wujudnya, tapi IMM, siapa yang bisa menunjukkan mana itu IMM?.
IMM dapat
berwujud, dapat terlihat besarnya melalui perilaku anggota atau kader-kadernya.
Itulah IMM, ia hanya memiliki “sifat”, yang sifatnya itu harus diwujudkan oleh
setiap kader-kadernya. Religiusitas, Intelektualitas, dan Humanitas merupakan
sifat, prinsip, ciri dari IMM, yang selanjutnya disebut dengan Tri Kompetensi
IMM.
Mungkin
diantara kita masih menerka-nerka, apa itu Tri Kompetensi yang muatannya
Religiusitas, Intelektualitas, dan Humanitas. Maka menurut Ketua Umum Dewan
Pimpinan Pusat Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah, Immawan Beni Pramula
mengungkapkan maksud dari istilah-istilah di atas.
Konsep religius
yang terpampang dalam trilogy Ikatan
adalah merupakan bingkai gerakan IMM dalam melihat realitas tidak terlepas dari
nilai teologis yang di dasari Al-Qur’an, surat Ali-Imron 104 dan 110, membangun
semangat Tauhid. Di tengah dominasi pandangan tentang dunia yang materialistik sekarang
ini, maka IMM harus memandang bahwa jagat raya adalah sesuatu yang datang dari
Tuhan, sadar dan responsif terhadap tuntutan spiritual serta aspirasi manusia.
Sudah cukup
lama istilah intelektual terpasung dalam pemaknaan sempit. Inteletual hanya
dimaknai dan berkutat dalam kerja-kerja akademik. Semestinya intelektualitas
harus bergerak secara kritis dan progresif serta bebas dari belenggu
mantra-mantra “penelitian ilmiah” yang cenderung mengerdilkan kebebasan
berfikir dan melupakan peringatan Allah dalam Al-Qur’an “afalaa yatafakkaruun”.
Humanitas secara sederhana
ialah kemasyarakatan. Dalam melakukan perubahan tidak bias dilakukan dengan
segudang konsep, yang tak kalah pentingnya adalah perjuangan mewujudkan konsep.
Pada fase ini dibutuhkan kerja keras, semangat, kesabaran, ketabahan, dan
stamina yang besar. Yang perlu disadari oleh kader IMM adalaha dalam mewujudkan
perubahan peradaban kemajuan dalam kehidupan. (Beni Pramula, Setengah Abad IMM; Merebut Momentum, Meretas Zaman,
Menduniakan Gerakan, Mediatama Indonesia, Jakarta, 2014. h 6-9).
Secara
singkat saya berpendapat Religiusitas versi IMM, minimal
kader IMM dapat menjadi aktivis masjid, menjadi pelopor bagi mahasiswa di
kampus untuk bersegera sholat ketika seruan dikumandangkan, menjalankan
aktivitas ibadah sesuai tuntunan Al-Qur’an dan Sunnah, mengembangkan gerakan
dakwah minimal di lingkungan kampus dan seterusnya. Tak usah muluk-muluk, jika
hal-hal kecil ini dapat dilaksanakan oleh seluruh kader IMM maka slogan “Anggun
dalam Moral” bukanlah sekedar teriakan belaka.
Inteletualitas, wawasan
dan keilmuan mutlak dimiliki oleh seluruh kader IMM, jangan berbicara ingin
meluruskan kiblat bangsa, menjadi problem
solver bagi masyarakat, apalagi menduniakan gerakan, sementara pengetahuan
kita tak pernah diperluas. Penyakit yang sering muncul dalam tubuh ikatan ialah
malasnya kader dalam membaca, menggali wawasan, mengikuti kajian, telaah buku
dan lainnya. IMM kini telah besar, tantangan makin membayang bagai raksasa.
Jangan berpikir ingin mencari atau menjaring kader sebanyak-banyaknya sementara
kita sama sekali tak mampu menga-yomi dan membimbing. Bukan kapasitas kemampuan
kita yang tak mampu, hanya saja kita jarang mengasah potensi akal, sehingga
pengetahuan kita hanya itu-itu saja, yang disampaikan itu-itu saja, bahkan
tidak berani mengikuti diskusi tukar pikiran, karena tak pernah mau belajar.
Sebagai kader IMM mari menjadi para intelektual, dimulai dari hal kecil,
perbanyaklah membaca, melihat, dan mendengarkan gejala yang ada disekitar.
Intelektualitas
sejatinya bukan sekedar kita pintar dan unggul dibangku kuliah namun
implementasinya begitu lemah. Seorang intelektual justru mampu mengapli-kasikan
keilmuannya dalam bertindak. Anies Baswedan berpesan bahwasanya, jadilah
mahasiswa yang tidak hanya belajar dibangku kuliah, tapi juga diluar ruang
kuliah (organisasi), sebaliknya jangan sekedar jadi aktivis diluar, tapi
jadilah aktivis di dalam ruang kuliah. Simpulannya ialah jadilah akademisi dan
aktivis yang seimbang.
Humanitas, menjadi
sebuah keharusan bahwa IMM merupakan gerakan non-profit, bergerak tidak dibayar, tidak digaji dan merupakan
gerakan social, maka nilai-nilai humanitas (kemasyarakatan) harus mengakar
dalam hati seorang kader. Kepekaan sosial, lebih-lebih keshalihan sosial yang
merupakan amanat Al-Qur’an, salah satunya dalam surah Al-Ma’un yang merupakan
spirit gerakan dakwah sosial Muhammadiyah. Maka sebagai anak bungsu (menurut
kelahirannya) yang lahir dari rahim “sinar sang Surya” selayaknyalah
nilai-nilai kemanusiaan itu dapat diaktualisasikan oleh kader IMM.
Maka singkat
kata, kalimat yang senantiasa terlontar dari mulut ini, “Tolong hidupkan IMM
dalam dirimu” setiap kali menyambut kader baru penuh harapan. Sebenarnya bukan
menjadi sebuah permohonan namun keharusan. Rutinitas yang ada dalam rumah
merah-maron sejatinya tidak terhenti sampai pada atribut jas dan lambang pena
berlapis tiga warna itu saja. Kembali lagi, memilih IMM adalah menentukan
prinsip hidup, setelah selesai di IMM, selanjutnya bertransformasi ke FOKAL,
Pemuda Muhammadiyah – Nasyiatul Aisyiyah, dan selanjutnya memegang tampuk
kepemimpinan Muhammadiyah – Aisyiyah, atau bahkan Amal Usahanya, maka
berfikirkan, bersiaplah, berubahlah.
Billahi fisabililhaq, fastabiqul khoirot.
-IMMawati
Ayu Oktarizza-
-Ketua
Umum PC IMM Kotim-