Rabu, 29 Juni 2016

Menyoal Pendidikan : Pengalamanku

"Teruntuk dia yang terlewatkan"

Hiruk pikuk dunia pendidikan akhir-akhir ini mulai memanas, mencuatnya kasus-kasus diskriminasi terhadap guru kini banyak beredar. Tak jarang tangan-tangan kreatif berinovasi membuat meme yang entah itu bentuk protes, kekesalan atau semacamnya.














 Ini gambar hasil stalking saya. Kegagalan pendidikan ini siapa yang bertanggungjawab? Guru, pahlawan tanpa tanda jasa acapkali dijadikan sebagai sasaran marah orangtua siswa, ketika sesuatu yang buruk menimpa anaknya. Wahai orangtua, memasukkan anak ke sekolah, bukan berarti melepasnya, membiarkannya dan menyerahkannya total kepada guru.
Sehingga banyak yang salah pemahaman, urusan kecerdasan anak, ketaqwaan anak, pemahaman anak terhadap agama, dibebankan seluruhnya kepada guru.

Padahal orangtua punya peran yang utama bagi sang anak. Pendidikan pertama dan utama anak terletak di keluarga. Komunikasi yang intensif harus dibangun antara guru dan orangtua agar hubungan keduanya  selalu hangat.

Menjadi seorang guru tidaklah mudah, guru tak sekedar profesi untuk menyambung hidup. Ada beban dan amanah yang dipikul disana. Jika semua guru dalam melaksanakan tugasnya hanya bermotif "upah" maka hancurlah pendidikan di negeri ini.


Lain haluan, lain cerita...

Secara pribadi, sebagai guru saya merasakan ini "jabatan" yang bukan main-main. Beberapa waktu silam, seorang siswa tak berhasil saya "selamatkan". Anak itu penuh kegigihan. Mengilasbalik riwayatnya, Di awal kesalahannya yang fatal, saya mampu menolongnya untuk tetap belajar. Namun saat kenaikan kelas saya tak bisa apa-apa, tak tau anak ini harus dibela atau saya pasrah menyambut keputusan.

Beberapa kesan yang sampai saat ini saya tak bisa memaafkan diri sendiri, waktu itu ia demi mengurangi point negatifnya setiap hari selalu menghampiri saya, meminta tugas demi menebus kesalahannya. Sampai waktu itu, anak ini berinisiatif sendiri untuk menebasi rumput-rumput di depan ruang Prodi AP sendirian, sementara yang lain mengerjakannya berkelompok. Dari kejauhan saya mengintip-intip pekerjaannya. Begitu gigihnya anak itu, hingga keringatnya bercucuran, pakaian HW yang saat itu dipakai basah karena keringat. lalu saya ajak dia ke kantin sekolah untuk melepas dahaganya.

Perubahan yang cukup drastis terlihat darinya, ia suka sekali kultum ba'da zuhur untuk mendapatkan point prestasi, hingga saat itu point negatifnya menjadi 0 dan prestasinya menjadi 80 di akhir kenaikan kelas.

 Namun eh namun :( di detik-detik kenaikan kelas, ada 5 nilai mata pelajaran anak ini yang di bawah standar ketuntasan. Sampai pada batas akhir anak ini tak juga datang untuk melaksanakan perbaikan. Meski saya telah berusaha mehubunginya.

Sampai pada rapat kelulusan, anak ini dinyatakan tidak dapat melanjutkan ke kelas selanjutnya dan sedihnya, saya tidak melakukan pembelaan apapun dan menerima keputusan dengan hati yang gamang. Bermalam-malam hati cukup galau. Sampai pada pertemuan dengan orangtua siswa saya melihat tangis di wajah ibu anak ini. :'( Setiap hari ibu ini menghubungi saya, minta bantuan bagaimana caranya supaya anak ini tetap mau sekolah, sampai akhirnya ibunya memutuskan untuk pindah sekolah.Saya merasa gagal membina anak didik saya.

Namun penyesalan berkepanjangan tiada guna. Berhusnuzaan dan mengambil hikmah dari pengalaman pertama sebagai wali kelas, pembelaan seorang wali kelas bagi anak didiknya sangat diperluakn. Apalagi penilaian tak sekedar nilai kognitif anak. Sikap dan skill anak di non akademik juga perlu diperhitungkan.

Semoga kau sukses nak, dimanapun kau berproses, berubah dan jadilah lebih baik.

Untukmu yang (tak pernah) terlewatkan....


Bahasa Sampit dan Kaum Milenial (dalam buku Kata Milenial tentang Bahasa Sampit)

Menjadi salah satu anak muda yang lahir dengan menyandang predikat generasi milenial, memang sangat beruntung. Kemampuan multitasking yan...